07 Oktober 2007

Mengaji Kitab Kuning di Zaman Serba Instan

Oleh M. Irfan Ilmie

Surabaya (ANTARA News) - Jika ingin menjadi pengasuh pondok pesantren salaf, maka seseorang setidaknya mampu menguasai kitab kuning. Ini merupakan syarat tidak tertulis untuk menjadi pengasuh pondok pesantren salaf.

Sampai sekarang memang belum ada kajian sejarah mengenai asal-muasal kitab kuning. Namun banyak naskah para ulama pasca Khulafaur Rasyidin berkuasa ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab tanpa harakat.

Kebanyakan naskah para ulama dari berbagai disiplin ilmu itu ditulis di atas kertas kuning sehingga orang sering menyebutnya sebagai "Kitab Kuning" atau "Kitab Gundul" karena memang tidak ada harakat layaknya Kitab Al Quran yang beredar di Indonesia.

Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu lama.

Rata-rata para pendiri pondok pesantren salaf di seantero Pulau Jawa belajar membaca kitab kuning ini secara khusus dengan rentang waktu yang cukup lama dalam bilangan belasan atau bahkan puluhan tahun.

Untuk memahami isi kitab kuning, seseorang harus menguasai Tata Bahasa Arab. Biasanya para santri di lingkungan pondok pesantren salaf membutuhkan waktu dua sampai empat tahun untuk mendalami Tata Bahasa Arab mulai dari Ilmu Nahwu, Ilmu Shorrof, sampai pada tingkatan lebih tinggi lagi seperti Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantiq.

Setelah ilmu-ilmu tersebut dikuasai bukan berarti seorang santri akan dengan mudah menerjemahkan kitab-kitab kuning karya para ulama salaf. Di luar jam pelajaran sekolah diniyah di pondok pesantren, para santri menyisihkan waktunya untuk mengaji kitab kuning kepada pengasuh pondok atau ustadz.

Bahkan pada saat Ramadhan yang mestinya libur panjang setelah ujian akhir tahun, digunakan para santri salaf dengan mengaji kitab kuning dengan cara kilatan. Disebut kilat karena pelaksanaan pengajian kitab kuning dikebut selama satu bulan Ramadhan. Jika kitab terdiri dari dua sampai empat juz (satu juz bisa terdiri dari 300 sampai 400 halaman), maka pengajian dilaksanakan mulai ba`da shubuh sampai pukul dua dinihari berikutnya agar tamat dalam waktu satu bulan.

Metode pengajiannya pun sesuai tradisi salaf, yakni pengasuh atau ustadz membaca naskah Bahasa Arab lengkap dengan mengartikan sesuai bahasa daerah tempat pondok itu berada, sementara santri mendengarkan sambil membubuhkan arti kata bahasa daerah di setiap kalimat.

Di kalangan santri salaf cara memberikan makna seperti itu disebut dengan istilah "ngesahi". Alat tulis yang digunakan adalah mata pena dan tinta China yang sudah dicairkan dengan serat pohon pisang lalu ditampung ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari kuningan.

Zaman telah berubah, sebagian tradisi salaf itu pun mulai banyak di tinggalkan kalangan santri. Alat tulisnya tidak lagi mata pena yang dicelupkan pada tinta China, namun sudah menggunakan pulpen bermata kecil yang biasanya banyak digunakan para arsitektur.

"Memang harganya relatif mahal, tapi bisa tahan lama seperti tinta China yang prosesnya butuh waktu lama," kata Syamsul Huda, salah seorang santri di Ponpes Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur.

Oleh sebab itu, di sekitar ponpes yang kini memasuki usia ke-97 itu banyak ditemukan tempat-tempat reparasi alat tulis buatan Jerman itu.

"Soalnya kalau jatuh sedikit, mata pena bisa langsung bengkok dan macet. Kalau diberikan mata pena saja harganya hampir sama dengan beli baru, makanya lebih baik direparasi saja," katanya.

Ini baru sebatas alat tulis yang sudah mengalami perubahan. Belum lagi ada sebagian pondok pesantren yang terpaksa mendengar rekaman suara pengasuh. Hal ini sangat beralasan, mengingat tidak setiap waktu para pengasuh yang kebanyakan sudah berusia udzur itu cukup kuat mengisi secara penuh jadwal pengajian mulai dari pagi sampai larut malam dengan waktu istirahat, saat salat berjamaah lima waktu dan buka puasa serta salat tarawih.

Kemudian yang sekarang menjadi tren adalah kitab kuning dengan dilengkapi makna Bahasa Jawa. Kalangan santri salaf menyebutnya dengan "Kitab bima`na Petuk" lantaran kitab kuning bermakna ini dipopulerkan oleh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab di Dusun Petuk, Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.

Sudah hampir 15 tahun ini ponpes yang berada di kaki Gunung Wilis itu mampu menyita perhatian publik salaf karena gagasannya mencetak kitab kuning dengan dilengkapi makna Bahasa Jawa itu telah memberikan kemudahan bagi santri salaf.

Kitab bima`na Petuk itu tidak hanya dijual di Pulau Jawa saja. "Tapi kami juga telah memenuhi permintaan sejumlah pondok pesantren di Lampung, Palembang, Pontianak, bahkan sampai Mataram," kata Salim Miftahul Hujjaj, selaku pengelola Koperasi Ponpes Hidayatut Thullab yang menjadi distributor tunggal "Kitab bima`na Petuk".

Menurut dia, dalam sehari omzet penjualan kitab tersebut telah mencapai angka Rp1 juta. Sedang pada saat menjelang puasa dan menjelang tahun ajaran baru yang biasanya jatuh setiap bulan Syawal omzetnya meningkat bisa mencapai Rp3 juta sampai 4 juta per hari. Sampai saat ini sudah ada sekitar seratus judul naskah kitab kuning yang telah dilengkapi makna Bahasa Jawa.

Salim mengungkapkan, awal mencetak kitab bermakna itu iseng belaka. Kitab kuning milik beberapa orang santri yang sudah penuh makna hasil pengajian selama bertahun-tahun tersebut diperbanyak di sebuah perusahaan percetakan di Mojokerto.

Kemudian kitab kuning cetakan bermakna itu dijual di kalangan santri Ponpes Hidayatut Thullab. Perlahan tapi pasti, kitab kuning yang kemudian disebut dengan "Kitab bima`na Petuk" itu mendapat perhatian dari kalangan santri salaf di berbagai daerah.

Lalu timbul pertanyaan, apakah dengan beredarnya "Kitab bima`na Petuk" para santri sudah tidak perlu lagi mengaji dalam waktu yang lama?

Sebagian besar kalangan santri salaf mengaku masih perlu mengaji sebagai media "tabarukan" atau ajang untuk mendapatkan berkah dari pengasuh atau ustadz yang membacakan kitab tersebut.

"Kitab bima`na Petuk ini hanya sebagai muqabalah (perbandingan) antara makna yang tertera di dalam kitab dan makna yang dibacakan pengasuh," kata Nabil Harun, pengurus Ponpes Lirboyo, Kota Kediri.

Selain itu, lanjut pria asal Temanggung, Jateng itu, dengan adanya "Kitab bima`na Petuk", seorang santri tidak perlu lagi susah-susah mencari temannya untuk membaca ulang karena tertinggal atau ketiduran saat pengajian berlangsung.

Demikian halnya dengan Luqman Hakim, alumni santri Ponpes Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang tetap menjadikan "Kitab bima`na Petuk" sebagai referensi di setiap acara pengajian yang dipimpinnya di Surabaya dan Pasuruan itu.

"Tidak semua jadwal pengajian dulu bisa saya ikuti di pondok. Kitab Petuk yang saya beli biasanya kitab yang belum atau tidak pernah saya ikuti pengajiannya," katanya beralasan.

Menurut dia, keberadaan "Kitab bima`na Petuk" bukan berarti santri akan malas belajar. Kendati sudah ada maknanya, tapi bukan berarti orang awam akan dengan mudah bisa membacanya.

"Untuk membaca Kitab Petuk, seseorang tetap harus paham ilmu Tata Bahasa Arab, karena tulisan yang tertera di bawah tulisan Arab hanya berupa simbol dan arti kata yang jarang didengar," katanya menambahkan. (*)

Bulan Pengendalian Diri
Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar
Mengendalikan Diri di Bulan Suci Saudaraku, ramadhan merupakan bulan pengendalian diri. Bulan yang setiap amal tidak lepas dari pencatatan Allah. Maka sudah menjadi keniscayaan bagi kita untuk menjaga diri dari perbuatan tercela. Sesungguhnya Allah sangat berkuasa atas segala sesuatu. Tidak ada sesutau yang terjadi tanpa seizin-Nya. Maka hati-hatilah terhadap mata, tangan, pikiran, mulut, hati kita jangan sampai lepas kendali. Karena mudah bagi Allah untuk mengambilnya kembali. Mata kita arahkan semaksimal mungkin untuk melihat hal yang bermanfaat, demikian pula pikiran, jauhi hal-hal yang berbau maksiat. Dalam ramadhan kali ini usahakan menghindari perkataan tercela atau dengan kata lain kita harus mampu kendalikan lisan kita. Lisan yang setiap tutur katanya membawa pengaruh, dapat dipastikan untuk tetap terjaga. Hindari ghibah atau mengumpat orang lain.

Ketika menjalankan shaum, bukan hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari segala kata-kata dan sikap yang tercela agar shaum kita tidak hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Rasulullah SAW bersabda : “Banyak di antara yang shaum, tapi hasilnya lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Khuzaimah). Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: : “Shaum itu perisai, maka apabila salah seorang diantara kalian shaum, janganlah ia menuturkan kata-kata yang keji dan janganlah ia menghingar-bingarkan, jika ada seseorang memarahinya atau memukulinya, hendaklah ia mengatakan saya sedang shaum.” (HR Muslim).

Tentunya keteladanan Rasulullah tersebut sangat patut kita tiru, sehingga tujuan dalam menjalankan ibadah shaum di bulan ini, diharapkan mengalami peningkatan kualitas ibadahnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal lain yang harus dijaga adalah hati, hati kita harus dijaga di bulan yang suci ini, karena hati merupakan lintasan kedua setelah pikiran, selanjutnya bagaimana kita mampu mengelola tindakan kita. Bisa kita bayangkan seandainya hati ini tidak terjaga tentu akan mengakibatkan banyak bencana yang akan terjadi. Yang berakibat pada akhirnya hati akan keras yang berujung mati. Na’udzubillah Begitu pula kendalikan telinga kita ini, hindari dari sesuatu yang tidak membawa manfaat. Jauhi musik-musik, obrolan yang tiada guna, begitu pula jaga tangan kita. Jika tidak kita gunakan dengan sebaik-baiknya, maka akan membawa petaka.

Selanjutnya kita tingkatkan ibadah sosial kita, di bulan yang penuh naungan berkah dan ampunan, dapat berupa sedekah. Dalam sebuah hadis, disebutkan : “Rasulullah adalah sebaik-baik manusia, seberani-berani manusia, dan semurah-murah tangan di antara manusia.” (HR Bukhari Muslim). Rasulullah sangatlah dermawan dan paling suka membantu dan menolong orang lain, apalagi di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain, beliau bersabda : “Sedekah yang paling utama adalah sedekah yang dikeluarkan di bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi). Oleh karena itu, alangkah baiknya di bulan ini sebagai sarana kita mengendalikan diri, sudah saatnya waktu yang kita lalui benar-benar sebagai sarana taqarub kita pada Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.(*)
Diposting oleh Pendi Agus Roeh di 18:38 0 komentar

I`tikaf, Ibadah Menyenangkan

Oleh Edy Supriatna Sjafei

Jakarta (ANTARA News) - Sepuluh hari menjelang 1 Syawal 1428 H atau Idul Fitri, Masjid Agung At-tin di kawasan komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus disesaki jemaah dari berbagai pelosok wilayah Jakarta, bahkan luar kota, untuk mengikuti ritual tahunan berupa i`tikaf.

Sudah lima hari terakhir jemaah yang ikut i`tikaf di masjid tersebut membludak. Lantai dua tempat sholat, balkon hingga lantai dasar dan pelataran penuh dengan orang yang tidur-tiduran, membaca Alquran serta melaksanakan sholat sunat.

Padatnya pengunjung membuat pengurus masjid sampai membuka tenda di pelataran. Sementara orang yang baru datang belakangan mencari tempat untuk sholat menjadi sulit, karena begitu banyaknya orang tidur di lantai.

Orang tua, lelaki dan wanita, termasuk para remaja tumplek di masjid termegah di Jakarta Timur itu. Di halaman luar terlihat banyak dua sejoli berdekatan. Bisa jadi mereka pacaran, namun ada pula pasangan muda suami isteri yang bergantian membaca Alquran.

Para remaja puteri berkerumun di bawah tangga masjid yang dibangun keluarga Presiden RI kedua, Soeharto. Mereka mengenakan pakaian muslimah, tentu juga mengenakan jilbab.

Pasangan keluarga Basri dan anak-anaknya, dari Bogor, Sabtu malam, itu boyongan. Mereka membawa kasur lipat. Bagaikan orang berada di sebuah rumah sakit yang tengah menunggu famili dirawat, keluarga ini menggelar kasur di teras masjid.

"Darpada di rumah, tidur melulu. Nonton tivi, enakan di sini. Ada kegiatan ngaji," ungkap Saodah, isteri Basri mengomentari tentang kegiatannya itu.

Berbeda dengan Rawis, yang berasal dari Cakung. Keluarga muda ini membawa bocah usia dua tahun untuk ikut i`tikaf.

Motivasi i`tikaf di masjid At-tin karena suasanannya enak. Tahun lalu juga keluarga ini ikut i`tikaf, namun baru sekarang dapat dilakukan berturut-turut. Harapannya, 10 hari terakhir bisa dilaksanakan semua.

Kegiatan i`tikaf dua tahun lalu di masjid yang dibangun tahun 1990-an itu tergolong sepi. Tapi, sekarang, jemaahnya banyak. "Panitianya bekerja bagus," ujar seorang peserta i`tikaf berbusana gamis.

Untuk ikut i`tikaf, panitia masjid At-tin mendata peserta. Caranya, peserta diharapkan memberi kontribusi berupa uang lalu panitia memberi kupon untuk diganti pada malam menjelang sahur dengan makanan.

Khusus pada malam minggu ini, panitia i`tikaf juga memberi suguhan hiburan berupa pemutaran film perjuangan umat Islam dalam memerangi kaum Yahudi.

"Daya tarik i`tikaf di At-tin memang luar biasa," kata Sofyan, yang datang dari Bogor, dan mengaku kecewa karena tak dapat ruang untuk sholat di balkon masjid.

Tepat jam 02.00 WIB, seluruh pengunjung yang tidur dibangunkan. Panitia mengumumkan akan dilaksanakan sholat sunat. Jemaah bangun, lantas berbondong-bondong mengambil wudhu. Beberapa saat kemudian dilaksanakan sholat sunat.

Usai sholat disusul mendengarkan tausiah. Sebagian jamaah menangis, karena penceramah mampu menggugah hati. Terlebih isi tausiah mengingatkan tentang perjalanan hidup manusia hingga mati. Materi ceramah dibawakan dalam suasana sejuk, lampu redup dan bebas dari suara bising kehidupan sehari-hari.

Tepat Pukul 03.00 WIB, jemaah turun ke lantai dasar untuk menukar kupon dengan makanan sahur. Menunya: lalap mentimun, ikan goreng tuna, nasi putih, sambal plus jeruk dan air putih.

"Nikmat, walau menunya sederhana," kata H. Rodjali, warga dari Condet.

Rangkaian i`tikaf baru selesai dengan ditutup sholat subuh berjamaah dan membaca Al Quran bersama-sama.

I`tikaf bertujuan menghidupkan sunah Rosulullah SAW dalam rangka mencapai ketaqwaan bagi seorang hamba. I`tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan dan diutamakan pada bulan Ramadhan. Dikhususkan 10 hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.

KH. A. Mustofa Bisri pernah bertutur, Nabi Muhammad SAW yang sudah begitu dekat dengan Allah perlu beri`tikaf. Sehingga karena begitu lama di masjid, istri Sayyidatina Aisyah mengirim makanan.

Pada zaman serba sibuk, beri`tikaf tak populer lagi. Terlebih bagi orang kota dan menganggap dirinya modern, pekerjaan i`tikaf diibaratkan sebagai pengangguran.

Padahal, justru di kebendaan ini mendominasi kehidupan seperti sekarang, orang butuh meliburkan diri dari kerutinan pemanjaan jasad.

Memberi bagian rohani untuk berkomunikasi sendiri dengan Al-Khalik, menyerap cahaya dari Nur-Nya yang agung bagi kepentingan janji pertemuan kita dengan-Nya. Sungguh, i`tikaf itu menjadi ibadah yang menyenangkan. (*)

Copyright © 2007 ANTARA





Bulan Pengendalian Diri
Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar
Mengendalikan Diri di Bulan Suci Saudaraku, ramadhan merupakan bulan pengendalian diri. Bulan yang setiap amal tidak lepas dari pencatatan Allah. Maka sudah menjadi keniscayaan bagi kita untuk menjaga diri dari perbuatan tercela. Sesungguhnya Allah sangat berkuasa atas segala sesuatu. Tidak ada sesutau yang terjadi tanpa seizin-Nya. Maka hati-hatilah terhadap mata, tangan, pikiran, mulut, hati kita jangan sampai lepas kendali. Karena mudah bagi Allah untuk mengambilnya kembali. Mata kita arahkan semaksimal mungkin untuk melihat hal yang bermanfaat, demikian pula pikiran, jauhi hal-hal yang berbau maksiat. Dalam ramadhan kali ini usahakan menghindari perkataan tercela atau dengan kata lain kita harus mampu kendalikan lisan kita. Lisan yang setiap tutur katanya membawa pengaruh, dapat dipastikan untuk tetap terjaga. Hindari ghibah atau mengumpat orang lain.

Ketika menjalankan shaum, bukan hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari segala kata-kata dan sikap yang tercela agar shaum kita tidak hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Rasulullah SAW bersabda : “Banyak di antara yang shaum, tapi hasilnya lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Khuzaimah). Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: : “Shaum itu perisai, maka apabila salah seorang diantara kalian shaum, janganlah ia menuturkan kata-kata yang keji dan janganlah ia menghingar-bingarkan, jika ada seseorang memarahinya atau memukulinya, hendaklah ia mengatakan saya sedang shaum.” (HR Muslim).

Tentunya keteladanan Rasulullah tersebut sangat patut kita tiru, sehingga tujuan dalam menjalankan ibadah shaum di bulan ini, diharapkan mengalami peningkatan kualitas ibadahnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal lain yang harus dijaga adalah hati, hati kita harus dijaga di bulan yang suci ini, karena hati merupakan lintasan kedua setelah pikiran, selanjutnya bagaimana kita mampu mengelola tindakan kita. Bisa kita bayangkan seandainya hati ini tidak terjaga tentu akan mengakibatkan banyak bencana yang akan terjadi. Yang berakibat pada akhirnya hati akan keras yang berujung mati. Na’udzubillah Begitu pula kendalikan telinga kita ini, hindari dari sesuatu yang tidak membawa manfaat. Jauhi musik-musik, obrolan yang tiada guna, begitu pula jaga tangan kita. Jika tidak kita gunakan dengan sebaik-baiknya, maka akan membawa petaka.

Selanjutnya kita tingkatkan ibadah sosial kita, di bulan yang penuh naungan berkah dan ampunan, dapat berupa sedekah. Dalam sebuah hadis, disebutkan : “Rasulullah adalah sebaik-baik manusia, seberani-berani manusia, dan semurah-murah tangan di antara manusia.” (HR Bukhari Muslim). Rasulullah sangatlah dermawan dan paling suka membantu dan menolong orang lain, apalagi di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain, beliau bersabda : “Sedekah yang paling utama adalah sedekah yang dikeluarkan di bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi). Oleh karena itu, alangkah baiknya di bulan ini sebagai sarana kita mengendalikan diri, sudah saatnya waktu yang kita lalui benar-benar sebagai sarana taqarub kita pada Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.(*)
Diposting oleh Pendi Agus Roeh di 18:38 0 komentar

Dahsyatnya Sedekah

Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar

Sahabatku, dimanakah letak kedahsyatan hamba-hamba Allah yang bersedekah? Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :

Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptakan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? "Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?"

Allah menjawab, "Ada, yaitu besi" (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantahkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).

Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?"

Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, yaitu api" (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).

Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?"

Allah yang Mahaagung menjawab, "Ada, yaitu air" (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).

"Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?" Kembali bertanya para malaikat.

Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, "Ada, yaitu angin" (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).

Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?"

Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, "Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya."

Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.

Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.

Karenanya, tidak usah heran, seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat. Sungguh ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan.

Apalagi kedahsyatan seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas? Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bis antar kota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bis yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kurs-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itulah. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.

Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apapun? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafazkan zikir.

Sahabat, tidaklah kita ragukan lagi, bahwa inilah sebagian dari fadhilah (keutamaan) bersedekah. Allah pasti menurunkan balasannya disaat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak pernah disangka-sangka.

Allah Azza wa Jalla adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Bahkan kepada kita yang pada hampir setiap desah nafas selalu membangkang terhadap perintah-Nya pada hampir setiap gerak-gerik kita tercermin amalan yang dilarang-Nya, toh Dia tetap saja mengucurkan rahmat-Nya yang tiada terkira.

Segala amalan yang kita perbuat, amal baik ataupun amal buruk, semuanya akan terpulang kepada kita. Demikian juga jika kita berbicara soal harta yang kini ada dalam genggaman kita dan kerapkali membuat kita lalai dan alpa. Demi Allah, semua ini datangnya dari Allah yang Maha Pemberi Rizki dan Mahakaya. Dititipkan-Nya kepada kita tiada lain supaya kita bisa beramal dan bersedekah dengan sepenuh ke-ikhlas-an semata-mata karena Allah. Kemudian pastilah kita akan mendapatkan balasan pahala dari pada-Nya, baik ketika di dunia ini maupun saat menghadap-Nya kelak.

Dari pengalaman kongkrit kedua akhwat ataupun kutipan hadits seperti diuraikan di atas, dengan penuh kayakinan kita dapat menangkap bukti yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahwa sekecil apapun harta yang disedekahkan dengan ikhlas, niscaya akan tampak betapa dahsyat balasan dari-Nya.

Inilah barangkali kenapa Rasulullah menyerukan kepada para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan infaq dan sedekah. Apalagi pada saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui," demikian firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2] : 261).

Seruan Rasulullah itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, "Ya, Rasulullah. Harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah."

"Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan," jawab Rasulullah.

Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. "Ya, Rasulullah. Saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya," ujarnya.

Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.

Mengapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan Rasulullah tersebut? Ini tiada lain karena yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Medan perang adalah medan pertaruhan antara hidup dan mati. Kendati begitu para sahabat tidak ada yang mendambakan mati syahid di medan perang, karena mereka yakin apapun yang terjadi pasti akan sangat menguntungkan mereka. Sekiranya gugur di tangan musuh, surga Jannatu na’im telah siap menanti para hamba Allah yang selalu siap berjihad fii sabilillaah. Sedangkan andaikata selamat dapat kembali kepada keluarga pun, pastilah dengan membawa kemenangan bagi Islam, agama yang haq!

Lalu, apa kaitannya dengan memenuhi seruan untuk bersedekah? Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan pelipat ganda rizki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. Masya Allah!

Sahabat, betapa dahsyatnya sedekah yang dikeluarkan di jalan Allah yang disertai dengan hati ikhlas, sampai-sampai Allah sendiri membuat perbandingan, sebagaimana tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini.(*)

Diposting oleh Pendi Agus Roeh di 18:41 0 komentar